Kamis, 19 Januari 2012

Muhkamat dan Mutasyabbihat

Allah berfirman :
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7)
Jadi, Al-Quran terdiri dari dua macam :
Ayat Muhkam
Yaitu ayat yang hanya mempunyai satu arti menurut aturan bahasa Arab atau lainnya, arti ayat itu jelas diketahui. Misalnya :
Tidak ada yang serupa dengan-Nya (QS Asyura :11)
Dan tidak satupun yang sesuatupun yang menyamai-Nya (Al-Ikhlas :4)
Ayat Mutasyabih
Yaitu ayat-ayat yang dapat memiliki banyak arti menurut bahasa Arab. Penunjukan makna ayat ini membutuhkan pemikiran yang dalam sehingga dapat diterima. Misalnya Surat Thaha : 5
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. 20:5)
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. 35:10)
Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihat, sehingga memiliki banyak arti. Pemilihan maknanya harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan tidak bertentangan dengan ayat muhkam. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan. Beritu juga hadis tidak boleh saling bertentangan. Juga hadis tidak mungkin bertentangan dengan ayat Al-Quran. Ada dua metodologi untuk menerangkan ayat mutasyabihat, keduanya benar :
1. metodologi Salaf
2. metodologi khalaf
Metodologi Salaf
Salaf adalah ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah pemberian penjelasan umum, sehingga ulama salaf ayat ini memiliki arti sesuai dengan kesempurnaan Allah. Daripada mengatakan artinya, mereka merujukkan ayat-ayat mutasyabih ke ayat muhkam. Contoh yang baik adalah
perkataan Imam Syafii :
“Saya percaya dengan apa yang Allah turunkan sesuai makna yang diinginkan-Nya, dan apa yang Rasulullah sampaikan sesuai dengan makna yang dia maksud.”
Dengan perkataan lain, arti yang sesuai tidak berdasarkan makna fisik dan indra yang salah, yang akan membawa kepada misalnya tempat, bentuk, kaki, gerakan, duduk, warna, arah, tersenyum, tertawa atau makna lain yang tidak boleh disifatkan kepada Allah. Lebih lanjut, orang Arab pada ketiga abad itu memiliki bahasa Arab yang alami dan sangat fasih. Mereka memahami bahwa ayat-ayat itu memiliki makna yang layak bagi Allah, dan mustahil bahwa mereka akan memberi makna fisik dan indrawi yang tidak layak bagi Allah.
Meski demikian, telah diketahui bahwa beberapa ulama salaf memberi makna tertentu kepada ayat Mutasyabih. Imam Bukari dalam Shahih-nya, bab Tafsirul Quran, memberi makna tertentu kepada lafal “illa wajhahu” yaitu dalam QS Al-Qashash 88. Dia mengatakan, “illa mulkahu”, yaitu dia mengatakan bahwa “wajh” – yang disifatkan kepada Allah – artinya “mulk” atau “kerajaan/kekuasaan”.
Metodologi Khalaf
Khalaf adalah ulama yang hidup sesudah 3 abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah memberikan makna tertentu kepada ayat mutasyabih. Ulama khalaf yang hidup pada saat di mana orang mulai kehilangan bahasan alami dan kefasihan berbahasa Arab. Melihat bahwa orang Arab kemampuan bahasa alaminya menurun dan mereka takut pada orang yang hatinya condong kepada kesesatan akan membaca ayat mutasyabih dengan arti yang tidak layak bagi Allah, sebagaimana Surat Ali Imran ayat 3 di atas. Untuk menjaga aqidah Islam, ulama khalaf mengikuti contoh di antara ulama salaf yang memberi arti tertentu pada ayat-ayat mutasyabih. Dengan mengacu ayat itu dengan ayat muhkam, mereka memberi arti tertentu kepada ayat mutasyabih yang sesuai dengan kaidah bahasa dan agama. Mereka memberi makna yang benar dan dapat diterima pada ayat mutasyabih.
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7).
Sehubungan dengan ayat ini Ibn Abas : “Saya adalah satu dari orang yang mendalam ilmu agamanya”. Masyhur bahwa Ibn Abbas adalah unggul di antara sahabat dalam menerangkan arti ayat Quran.
Di antara orang yang hatinya condong kepada kesesatan adalah musyabbiha, yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka secara salah mengklaim bahwa dilarang menunjuk pada arti tertentu pada ayat mutasyabih dan khususnya yang berhubungan dengan sifat Allah. Lebih lanjut, mereka membuat aturan yang keliru bahwa penunjukkan makna tertentu pada ayat tersebut yang akan membawa kepada peniadaan sifat-sifat Allah. Klaim mereka ini membawa pada interpretasi ayat Quran saling kontradiksi dan juga interpretasi antar hadis, dan interpretasi hadis dan Quran. Lebih lanjut klaim mereka ini telah menuduh ulama-ulama salaf dan khalaf dengan fitnah bahwa mereka meniadakan sifat-sifay Allah. Ini akan meliputi : Ibn ‘Abbas, Sufyan ath-Thawri, Mujahid, Sa’id Ibn Jubayr, Malik, Ahmad, al-Bukhari, an-Nawawi, Ibn Rajab al-Hanbali, Ibn-ul-Jawzi, Ibn Hajar , al-Bayhaqi, Abu Fadl at-Tamimi, ‘Abdul-Qahir al-Baghdadi, ulama hadis dan ahli bahasa Murtada az-Zabidi, dll. (Ketr. lihat isi artikel berikutnya…)
Dengan klaim mereka ini, mereka bertentangan dengan Rasul. Al-Bukhari menyatakan bahwa Rasul melakukan doa untuk Ibn Abbas. Rasul saw mengatakan :
Ya Allah, ajari dia ilmu hadis dan penjelasan Quran.
Dalam bab Tafsir al-Qur’an, Imam al-Bukhari mengatakan bahwa kata wajhahu dalam Surat al-Qasas, ayah 88, berarti “Kerajaan/kekuasan-Nya.” Tetapi, mushabbihah yang menserupakan Allah dengan makhluk mengatakan, “Kami tidak menginterpretasikan, tetapi memilih makna literal,” sehingga mereka mengatakan wajhahu artinya “muka-Nya.”
Ibn Hajar al-’Asqalani, dalam Al-Fath (Sarah Sahih al-Bukhari), Volume 6, hal 39-40: ” ….. sehubungan dengan perkatakan sifat Allah , ad-dahik (tertawa), artinya “mengasihi,’ dekat dengan makna ‘menerima kebiakan’. Tetapi mushabihah berkeras mengambil makna literal, sehingga mereka mengatakan bahwa Allah tersenyum atau tertawa.
Dalam Surat Al-Qalam 42 :
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (QS. 68:42)
Salaf mengatakan lafal “saq” sebagai “suatu kesulitan”, sehingga makna ayat adalah “hari yang penuh ketakutan dan kesulitan”. Penjelasan ini diberikan oleh Ibn ‘Abbas, Mujahid, Ibrahim an Nakh’i, Qatadah, Sa’id Ibn Jubayr, dan sejumlah ulama. baik Imam al-Fakhr ar-Razi dalam Tafsir Qur’an, Volume 30, hal 94 dan Imam al-Bayhaqi dalam Al-’Asma’ was-Sifat, (hal 245) dan Fath-al-Bari, (Volume;13, hal 428) meriwayatkan penjelasan dari Ibn ‘Abbas. Ibn Qulayb Juga menyatakan dari Sa’id Ibn Jubayr yang mendapat ilmu dari ‘Abdullah Ibn ‘Abbas and Ibn ‘Umar. Tetapi mutashabihah berkeras pada makna literal dan mensifati pada Allah “betis”, dengan mengartikan literal ‘betis’.
Dalam Al-Baqarah 115 : Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:115)
Imam Mujahid, murid Ibn ‘Abbas, mwngatakan bahwa kata wajh artinya ‘qiblat,’ i.e., ara prayers pada waktu sahalat sunah dalam perjalanan atau naik hewan. Tetapi orang mushabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengartikan “muka/wajah”.
Begitu juga, jika ayat 12 At-Tahrim :” Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami”, diambil makna literal artinya Allah meniup sebagian dari Ruh-Nya kepada Isa. Ulama mengatakan artinya : Allah menyuruh Jibril untuk meniup ke dalam Nabi Isa ruh yang dimuliakan Allah. Juga dalam Shad 75, secara literal berarti : Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. …” (QS. 38:75) Para ulama mengatakan arti “yadain” adalah “perhatian/kasih (care)”. Tetapi, orang mushabihah berkeras bahwa arti yadain adalah tangan. Juga An-Nur :35, “ Allah adah Cahaya langit dan bumi…”. Para ulama mengartikan : ‘Allah (Pencipta/Pemberi) petunjuk di langit dan bumi’. Tetapi mushabihah berkeras dengan makna literal, Allah adalah cahaya. Al-Fajr:22 : “Datanglah Tuhanmu..”. Imam Ahmad Ibn Hanbal, mengartikan : Kekuasaan Allah telah datang. Hafiz Imam al-Baiaqi dalam Manaqib Ahmad, menerangkan dari sanad sahih. Juga Ibn al-Jawzi al-Hanbali, ulama Madzhab Hambali, menyatakn bahwa Imam Ahmad menunjuk pada arti tertentu, yang dapat diterima, yang mutasyabihat. Dia juga membuktikan bahwa Imam Ahmad tidak mempercayai tentang “maji-ah” (dari ja-a) dalam ayat itu, bahwa itu adalah pergerakan. Imam Ibn Al-Jauzi, juga : Tidak mungkin Allah bergerak”. Tetapi musyabihah berkeras bahwa “Allah datang” (yi, dari satu tempat ke tempat lain). Hadis dari Bukhari (ttg. Allah nuzul /turun) dijelaskan Imam Malik : Sebagai turunya kasih sayang dan bukan gerakan. Tetapi kaum musyabihah berkeras “nuzul” artinya Allah turun dalam arti gerakan.
Mengutip Imam Asy’ari, Imam Baihaqi, dalam buku Al-Asma wa Sifat hal 488 : “Allah ta’ala tidak di suatu tempat. Gerakan, istirahat dan duduk adalah
sifat-sifat badan”Imam Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan lafaz “istiwa” dalam Surat Taha :5 artinya “al-istila” yang artinya menguasai (subjugating). Ketika al-istila digunakan untuk menjelaskan ayat ini, itu berarti Allah menguasai Arsy dengan penguasaan tanpa awal. Jika ayat ini dijelaskan dengan cara ini, itu artinya Allah disifati dengan menguasai Arsy sebelum Arsy diciptakan, sama seperti Allah disifati sebagai pencipta sebelum sesuatu yang diciptakan ada. Dalam konteks ini, ulama memberi istilah “al-azal”, yang berarti keadaan tanpa permulaan. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah menguasai (istila) ‘arsy dalam al-azal, yang berarti bahwa Allah menguasai ‘arsy dengan penguasaan tanpa permulaan. Tetapi kaum musyabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengatakan istiwa artinya “duduk” di atas Singgasana atau “bertempat secara kuat” di atasnya.
Dalam bukunya Al-Mu’taqad, Imam Baihaqi menyatakan dari sanad al-’Awza’i ,Imam Malik dan Sufyan ath-Thawri serta al-Layth Ibn Sa’d, bahwa ketikamereka ditanya hadis yang mutasyabihat, mereka berkata : ”Terimalah mereka sebagaimana datangnya tanpa menerapkan ‘bagaimana’ padanya”. Hal ini karena jika seseorang bertanya bagaimana, jawabnya adalah “seperti ini atau itu”. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan Allah tidak seperti makhluk. Siapa pun tidak dapat membayangkan, Allah berbeda dari apa pun. Ketika ulama mengatakan :”….tanpa ‘bagaimana’ padanya”, mereka mengartikan bahwa Allah bersih dari sifat-sifat duduk, istirahat, bergerak, berkaki, bertubuh atau anggota tubuh. Mereka tidak mengartikan istiwa di atas singgasana… Sebaliknya, para ulama sepenuhnya meniadakan “bagaimana” pada Allah.
Sehingga pernyataan yang mengatakan “Allah duduk di atas singgasana tetapi kita tidak tahu bagaimana” adalah tertolak berdasar keterangan mereka. Siapa pun dengan suara pikiran tahu bahwa duduk, bagaimanapun caranya, adalah sifat-sifat tubuh. Bertempat membutuhkan “bagaimana” dan ditujukan kepada tubuh. Lebih lanjut, warna dan sentuhan adalah atribut tubuh dan “bagaimana” ditujukan padanya. Semuanya adalah mustahil ditujukan kepada Allah.
Hampir sama, ketika Rasul bertanya kepada budak hitam wanita: “Di mana Allah?”, para ulama mengartikan Beliau menanyakan tetntang kedudukan Allah. Dia menjawab: Fis-sama” yang artinya Allah memiliki kedudukan tertinggi. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal – Rasul menanyakan tempat Allah, dan dia menjawab “Allah di langit”, artinya langit adalah tempat Allah.
Beitu juga hadis : Jika kamu mengasihi yang di bumi, kamu akan dikasihi yang di langit. Artinya Jika kamu mengasihi yang di bumi, malaikat – yang ada di langit, akan membawa kasih Allah kepadamu. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal”… Allah , yang ada di langit, akan mengasihimu”
Dengan menolak pemahaman majazi, mengakibatkan adanya saling kontradiksi antar ayat-ayat Al-Quran atau hadis. Sebagai contoh hadis terkenal “Allah di antara orang dan leher peliharaannya”. Hal ini secara langsung bertentangan dengan hadis “Allah di langit” di atas.
Juga dengan Al-Hadid :4 :”Allah bersama kamu dimana pun kamu berada”. Ulama mengartikan Allah mengetahui di mana pun kamu berada.
Juga Fushilat 54: Allah meliput segala sesuatu. Juga As-Shafat :99: arti literal: “Allah di negeri-negeri syam”, karena ayat ini berhubungan dengan Sayidina Ibrahim yang sedang pindah dari Iraq ke negeri-2 Syam.
Juga Al-Baqarah :125 makna literalnya : “Ka’bah adalah rumah Allah”. Jika Surat An-Nahl 128 diambil literal, artinya menjadi “Allah bersama orang berbuat kebaikan”
Jika semua diambil makna literalnya betapa banyak kontradiksinya. Para ulamamengambil makna yang sesuai dan dapat diterima pada ayat dan hadis yang mutasyabihat berdasar bahasa dan agama, dan dengan merujuk pada ayat muhkam.
Mereka mengartikan :
Allah Maha Mengetahui dimana pun kamu berada (Hadid :4),
Allah mengetahui segala sesuatu (Fusilat:54),
Kabah adalah rumah yang sangat dimuliakan Allah (Al-Baqarah 125).
Surat Al-An’am 61 : merujuk “fauqiah” (aboveness) kekuasaan, sehinggaartinya “Segala sesuatu di bawah kekuasaan Allah”
Surat An-Nahl 128 artinya Allah menolong orang-orang yang berbuat kebaikan.
Taha 5, artinya Allah menguasai Arsh dalam al-azal (tanpa permulaan),seperti seluruh sifat Allah.
Dalam pengambilan makna literal kaum musyabihah, mereka mencoba keluar dari kontradiksi dengan berkamuflase, bahwa Allah memiliki muka tanpa penampakan, dan Allah mempunyai “arah” yaitu atas, tetapi kita tidak tahu bagaimana; dan Allah mempunyai “betis” yang kita tidak tahu bagaimana betisnya. Juga mereka mengatakan Allah “duduk” tetapi kita tidak tahu bagaimana Dia duduk.
Ahli Bahasa dan hadis madzhab Hanafi, Imam Murtada Az-Zabidi, dalam bukunya Ithafus-Sadatil-Muttaqin, menolak orang yang menolak penunjukan manka yang dapat diterima pada ayat mutasyabihat dan berkeras pada makna literal. Dia mengatakan : “Pada dasarnya mereka merendahkan kedudukan Rasul; mereka mengklaim bahwa Rasul tidak tahu sifat-2 Allah yang diturunkan kepadanya; …”
Bagaimanapun Allah mengatakan Surat ash-Shu’ara’, ayah 195, “Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas” Az-Zabidi :”Orang yang mengambil posisi menentang pengambilan makna tertentu yang dapat diterima pada dasarnya adalah menyerupakan Allah dengan makhluk” Menskipun mereka berkilah dengan mengatakan bahwa Dia memiliki “tangan”, yang tidak sama dengan tangan makhluk, dan “betis” yang tidak sama dengan betis makhluk, bertempat/istawa yang tidak kita ketahui. Dia menyebut mereka:”Perkataan Anda bahwa ‘kita mengambil makna literal, yang tidak kita ketahui’ adalah kontradiksi. Jika anda mengambil makna literal, maka ‘as-saq’ dalam Surat al-Qalam, ayah 42, adalah betis, yang itu adalah bagian tubuh yang berupa kulit, daging, tulang dan syaraf. Jika Anda mengambil makna literal, maka anda telah melakukan penghinaan, dan jika anda kemudian menolaknya, bagaimana anda mengklaim melakukan makna literal?”
Penutup
Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati Allah dengan yang tidak layak baginya.
Singkat kata, cara pertama yang benar dalam memahami ayat mutasyabihat dalam Al-Quran adalah mempercayai sesuai yang Allah maksudkan tanpa mengatakan artinya , dan tanpa “bagaimana”, yaitu tanpa mensifati Allah duduk, berdiri, bertempat, bersifat indrawi, atau arti lain dan dikenakan pada manusia/makhluk. Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan, “Allah istiwa yang pantas bagi-Nya – yang bukan duduk, punya yad yang pantas bagi-Nya – yang bukan tangan, dan punya wajh yang pantas bagi-Nya – yang bukan muka”
Cara yang benar kedua adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa. Mengikuti metode ini, kita mengatakan “istiwa artinya ‘Dia menguasai Singgasana’, yad artinya ‘kasih/perhatian’-Nya, wajh artinya ‘Zat Allah’, ‘Kekuasaan’, atau ‘Kiblat’”.
….
Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu yang ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan”
Kita bermohon kepada Allah agar menjaga kita dalam jalan dan keyakinan yang benar yang dimiliki ulama Salaf dan Khalaf. Kita mohon lindungan Allah dari perangkap kesesatan, karena Rasul saw berkata dalam riwayat Tarmizi, “Seorang hamba akan mengucapkan sebuah kata yang dia tidak tahu merugikan, akan menyebabkan dia masuk ke dalam neraka selama 70 musim”. Itu adalah tempat yang hanya dicapai oleh orang kafir.
Sangat berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf, ayah 18, “setiap kata yang diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan Atid” Juga berhati-hatilah dari buku-buku tafsir/terjemahan Quran yang menserupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan cahaya, tangan, betis, wajah, duduk, arah, tempat dan sejenisnya. Allah bebas dari segala kelemahan dan segala sesuatu penyerupaan dengan makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul Alamien, Yang Esa yang bersih dari segala penyerupaan dan segala sifat yang tidak pantas, dan dari segala yang merendahkan yang dikatakan oleh orang yang tidak benar tentang Dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar