Kamis, 19 Januari 2012

Bahaya Fanatisme Madzhab

BAHAYA TAQLID Di antara bahaya taqlid yang bisa disebutkan dalam kajian ini:
1. Menghalangi pelakunya untuk menerima kebenaran.
2. Memperuncing perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat, karena masing-masing pihak mendahulukan pendapat pimpinan atau nenek moyang mereka terhadap ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, yang kita diperintah untuk berpegang dengan keduanya dan mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara hendaknya kalian mengembalikan (jawaban atau penyelesaiannya) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari akhir , karena sesungguhnya yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’ : 59)
3. Sikap taqlid dengan mendahulukan pendapat seseorang daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya, merupakan sebab datangnya adzab dan tersebarnya fitnah, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Berhati-hatilah mereka yang selalu menyelisihi perintahnya (Rasul) akan menimpa kepada mereka fitnah atau adzab yang pedih.” (An Nur:63)
4. Sikap taqlid ini akan mengantarkan pelakunya kepada penyesalan yang tak kunjung usai di hari kiamat, karena para pemimpin atau nenek moyang (pendahulu) yang dipanuti secara taqlid akan berlepas diri dari para pengikut mereka. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Ketika orang-orang yang diikuti (dengan taqlid) berlepas diri dari para pengikut mereka, dan mereka telah melihat adanya adzab dan ketika itu segala bentuk hubungan antara mereka terputus sama sekali, dan kemudian berkata para pengikut: “Seandainya kami dapat kembali ke (dunia) pasti kami akan berlepas diri dari mereka (para pemimpin yang dipanuti) sebagaimana mereka berlepas diri dari kami…” (Al Baqarah: 66-167)
Dan juga firman Allah yang artinya:
“Dan alangkah dahsyatnya ketika kamu melihat orang-orang dholim dihadapkan kepada Tuhan-nya sebagian mereka melemparkan tuduhan kepada yang lainnya, berkatalah orang-orang yang lemah (dari kalangan para pengikut) kepada orang-orang yang menyombongkan diri (dari kalangan pemimpin): “Kalau bukan karena kalian tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman, maka menjawablah orang-orang yang menyombong-kan diri (para pemimpin): “Apakah kami yang menghalangi kalian dari petunjuk ketika petunjuk tersebut datang kepada kalian? Justru kalian sendirilah orang-orang yang berdosa (dengan meninggalkan petunjuk tersebut), maka orang-orang yang lemah menjawab kepada orang-orang yang menyombong-kan diri: “Justru sebenarnya tipu daya kalianlah (yang secara terus menerus) malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru supaya kami mengingkari Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.” Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tersebut tatkala mereka semua melihat adzab.. .” (As Saba’: 31-34)


Kyai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, Ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai Allah ?, disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur asal dia diciptakan. Allah ? menerangkan tentang kepongahan Iblis tatkala ia protes kepada Allah ?, yang artinya:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf : 12).
Di dalam sebagian kitab Hanafiyah terdapat pertanyaan: Bolehkan wanita Hanafiyah menikah dengan laki-laki Syafi'iyah? Dan jawabnya adalah tidak boleh. Karena Hanifiyah meragukan iman orang-orang Syafi'iyah.

Dan kaum Muslimin di negara-negara di belakang dua sungai telah mengamalkan fatwa ini bertahun-tahun, yang penduduknya tidak membolehkan anak-anak wanita mereka menikah dengan laki-laki Syafi'iyah.

Begitulah keadaannya sampai datang seorang tokoh ulama Hanifiyah yang bergelar Mufti ats-Tsaqalain, yang menyusun tafsir Abu as-Suud, yang dalam menghadapi masalah tadi berfatwa: tentang bolehnya Hanifiyah menikah dengan orang Syafi'iyah, akan tetapi dengan alasan yang aku sendiri tidak bisa mengomentarinya.

(Tafsir) Abu as-Su'ud telah membolehkan pernikahan laki-laki Hanifiyah dengan wanita Syafi'iyah dengan menempatkan kedudukan wanita itu pada kedudukan ahli kitab dengan qiyas perlakuan terhadap wanita Yahudi atau Nashrani.

Maka sangat mengherankan, jika ia (Abu as-Su'ud) membolehkan ini, akan tetapi dia tidak membolehkan sebaliknya... dan sungguh ini telah terjadi di negara-negara kaum Muslimin dan terus terjadi sampai hari ini.

Aku (Syaikh Al-Albani) mendengarnya sendiri dari seorang laki-laki awam yang bermazhab Hanafiyah yang terpesona kepada seorang kahatib masjid Bani Umayyah di Damaskus Syam, sehingga ia berkata, "Seandainya khatib itu tidak bermazhab Syafi'i, sungguh aku akan menikahkankannya dengan putriku."

Aku harapkan janganlah seorang dari orang-orang yang lalai, tergesa-gesa menuduhku telah berbuat jahat dan mengatakan: "Sesungguhnya perselisihan-perselisihan ini telah berakhir dan telah lewat masanya."

Maka kepada orang ini dan yang semisalnya, aku sebutkan contoh di atas (yang aku mengetahuinya sendiri) sebagai dalil terus berlansungnya perselisihan-perselisihan tersebut.

Ini adalah pada tingkatan bangsa Arab, maka apabila engkau berpindah kepada kaum Muslimin non-Arab, pasti engkau dapatkan perselisihan yang lebih pahit dan lebih keras daripada perselisihan-perselisihan yang mengherankan ini.

Kedua.
Perselisihan dalam furu' tidak akan berbahaya. Adapun ucapan mereka bahwa perselisihan dalam furu' tidak akan berbahaya, maka aku katakan: "Di dalam perselisihan ushul bahayanya jelas, sebagiannya telah lewat, berdasarkan ini maka sesungguhnya bahaya itu juga pindah pula pada (perselisihan) furu'; dan cukuplah sebagai tanda bahaya bahwa perselisihan ini menyebabkan berpecah-belahnya ummat dan porak-porandanya seperti telah aku jelaskan.

Pertanyaannya sekarang adalah: Bagaimana penyelesaiannya?

Penyelesaiannya ada pada penutup hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang telah aku kemukakan, yaitu "sampai kalian kembali ke agama kalian." Yang artinya terkandung pada kembali secara benar kepada Islam. Islam dengan pemahaman yang benar yang telah dijalani oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para shabahat beliau.

Untuk membatasi jawaban masalah tersebut, aku ulangi: "Haruslah kita memulai dengan tashfiyah dan tarbiyah, dan sesungguhnya harakah (pergerakan) apa saja yang tidak berdiri di atas fondasi ini sama sekali tidak ada faedahnya."

Dan untuk membuktikan kebenaran pendapat kita di dalam manhaj ini, kita kembali kepada Kitab Allah al-Karim, di dalamnya terdapat satu ayat yang menunjukkan bahwa permulaan itu haruslah dilakukan dengan tashfiyah kemudian tarbiyah yang membuktikan kesalahan setiap orang yang tidak setuju dengan kita.

Allah berfirman:

" Artinya : Jika kalian menolong Allah, niscaya Dia akan menolong kalian." [Muhammad 7]

Inilah ayatnya, Dia berfirman: Jika kalian menolong Allah, niscaya Dia akan menolong kalian."

Inilah ayat yang dimaksud; dan ahli tafsir telah sepakat bahwa arti menolong Allah adalah "mengamalkan hukum-hukumNya." Dan termasuk pula: "Iman kepada yang ghaib." Yang telah dijadikan oleh Allah sebagai syarat pertama bagi mu'minin.

"Artinya : Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib dan menegakkan shalat." [Al-Baqarah: 3]

Maka bila pertolongan Allah tidak terwujud, kecuali dengan menegakkan hukum-hukumNya, lantas bagaimana mungkin kita memasuki jihad secara amalan? Sedangkan kita belum menolong Allah sesuai (makna) yang telah
disepakati ahli tafsir.

Bagaimana kita memasuki jihad sedangkan aqidah kita rusak, hancur? Bagaimana kita akan berjihad, sedangkan akhlaq rusak? Kalau begitu haruslah meluruskan aqidah dan mendidik jiwa sebelum memulai jihad.

Dan aku mengetahui bahwa perkara ini tidak akan selamat dari penentangan terhadap manhaj kita: tashfiyah dan tarbiyah.

Tentang ini ada orang berkata: "Sesungguhnya melaksanakan tashfiyah dan tarbiyah adalah satu urusan yang membutuhkan waktu panjang bertahun-tahun."

Akan tetapi aku katakan, "Hal ini (waktu panjang) tidaklah penting, namun yang penting adalah kita menjalankan apa yang diperintahkan oleh agama kita, oleh Rabb kita yang Maha Agung."

Yang penting kita mulai pertama kali dengan mengenal agama kita dan setelah itu tidak peduli apakah jalannya panjang atau pendek.

Sesungguhnya aku tujukan ucapanku ini kepada para aktifis da'wah kaum Muslimin, para ulama dan para pembimbing. Aku seru mereka, hendaklah berada di atas ilmu yang sempurna tentang Islam yang shahih dan hendaklah mereka memerangi setiap kelalaian atau pura-pura lupa dan memerangi setiap perselisihan dan pertengkaran.

"Artinya : Maka janganlah kalian saling bertengkar yang menyebabkan kalian jadi gentar dan hilang kekuatan kalian." [Al-Anfal: 46]

Dan setelah kita menyelesaikan pertengkaran dan kelalaian ini dan kita tempatkan kebangkitan, persatuan dan kesepatan pada posisinya, maka kita mengarah untuk mewujudkan kekuatan materi (fisik):

"Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kalian mampu berupa kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian." [Al-Anfal : 60]

Mewujudkan kekuatan materi adalah perkara yang pasti, karena memang harus membangun industri, pabrik senjata dan lainnya. Akan tetapi sebelum segala sesuatu itu dilakukan, haruslah kembali secara benar kepada agama sebagaimana yang dijalani oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau di dalam aqidah, ibadah, tingkah laku dan seluruh apa yang berkaitan dengan perkara-perkara syari'ah.

Dan hampir-hampir engkau tidak akan mendapati seorang pun di kalangan kaum Muslimin yang menjalankan ini, kecuali Salafiyun.

Mereka adalah orang-orang yang meletakkan titik di atas huruf-huruf, dan mereka sajalah yang menolong Allah dengan apa yang Dia perintahkan yang berupa tashfiyah dan tarbiyah yang akan mewujudkan manusia Muslim yang benar. Mereka sajalah wujud firqah an-Najiyah (golongan yang selamat) dari neraka dari 73 firqah yang ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ditanya tentangnya, beliau bersabda, "Semuanya di dalam neraka."

Oleh karena inilah aku ulangi lagi, "Tidak ada jalan keselamatan, kecuali al-Kitab dan as-Sunnah serta tashfiyah dan tarbiyah di dalam menuju al-Kitab dan as-Sunnah. Dan ini mendorong upaya pemahaman terhadap ilmu hadits dan pemisahan yang shahih dari yang dhaif, supaya kita tidak membangun hukum yang keliru seperti yang dijalani kaum Muslimin pada banyak kesalahan-kesalahan hukum dengan berpegang pada hadits-hadits yang lemah.

Di antaranya (sekedar contoh), apa yang terjadi pada sebagian negara-negara Islam tatkala mempraktekkan Undang-Undang Islam -sebagaimana mereka namakan-, akan tetapi tidak berlandaskan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Maka terjatuhlah ke dalam kesalahan-kesalahan perundang-undangan dan yang berkaitan dengan hukuman.

Misalnya, bahwa hukuman seorang Muslim tatkala membunuh kafir dzimmi (yang bernaung di bawah bendera Islam ini) apabila dilakukan secara sengaja adalah balas dibunuh. Dan diyat (tebusan) orang dzimmi yang terbunuh secara keliru adalah sama dengan diyat Muslim. Padahal ini bertentangan dengan apa yang berlaku di zaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Maka bagaimana setelah ini (semua), memungkinkan kita menegakkan daulah padahal kita berada di dalam kesalahan-kesalahan serampangan ini. Ini terjadi pada lapangan ilmu, maka apabila kita berpindah ke masalah pendidikan, kita dapati kesalahan-kesalahan yang mematikan, akhlaq kaum Muslimin di dalam pendidikan hancur binasa. Maka haruslah dijalankan tashfiyah dan tarbiyah dan kembali secara benar kepada Islam.

Dan pada kedudukan ini, sangat menakjubkan ucapan salah seorang da'i Islam bukan dari Salafiyun (akan tetapi kawan-kawanya tidak mengamalkan ucapan ini) yang berkata, "Tegakkan daulah Islam di dalam hati kalian, niscaya daulah Islam akan berdiri di bumi kalian."

Sesungguhnya kebanyakan da'i Muslimin keliru ketika mereka lalai dari prinsip ini dan ketika mereka berkata, "Sesungguhnya sekarang bukanlah waktunya tashfiyah dan tarbiyah, akan tetapi sekarang hanyalah waktu untuk bersatu."

Padahal bagaimana mungkin bersatu, sedangkan perselisihan terjadi dalam ushul dan furu'. Sesungguhnya perselisihan ini adalah kelemahan dan kemunduran yang laten pada kaum Muslimin.

Dan obatnya adalah satu, teringkas dari apa yang telah dijelaskan, yaitu kembali dengan benar kepada Islam yang shahih atau mulai mempraktekkan manhaj kita dalam tashfiyah dan tarbiyah, dan mudah-mudahan ini telah cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar