Kamis, 19 Januari 2012

Tingkat Kesadaran Manusia

Berbagai Tingkat Kesadaran Manusia

Muhammad Rasulullah lahir dalam keadaan yatim sehingga sejak awal telah kehilangan figur ayah. Muhammad kecil kemudian juga kehilangan ibunya di usia enam tahun, sehingga lengkaplah beliau menjadi yatim piatu. Hal ini menjadikan beliau mulai belajar menjadi mandiri.

Muhammad kecil kecil mulai bekerja sebagai penggembala kambing. Ini adalah masa dimana beliau mulai merenungi kebesaran alam semesta. Sementara teman-teman sebayanya bermain di kota, Muhammad bekerja sendirian di luar kota. Ahli sejarah (tarikh) Islam mengatakan bahwa pekerjaan ini merupakan ‘rahmat terselubung’ (bless in disguise) yang memberikan dasar bagi Muhammad kecil untuk mengembangkan kecerdasan spiritualnya.
Sejarah para nabi menunjukkan ketakjuban atas alam semesta yang bercampur dengan kegelisahan dan kegamangan hidup akan menuntun seseorang untuk menyadari adanya kekuatan maha dahsyat yang menciptakan dan mengatur alam ini. Kita tengok kisah bapak para nabi, Ibrahim a.s., bagaimana Ibrahim kecil mulai menanyakan ‘siapakah’ kekuatan paling dahsyat di alam ini. Dia memulainya dengan menganggap bintang, kemudian matahari, kemudian sampai pada kesimpulan adanya Allah tuhan semesta alam yang Maha Besar, Maha Dahsyat, sekaligus Maha Mengatur alam semesta ini.
Hal yang sama terjadi pada Muhammad kecil. Kegelisahannya sebagai seorang yatim piatu menuntunnya untuk berpikir dan merasakan makna kehidupan yang ia alami. Inilah awal dari berpindahnya kesadaran Muhammad kecil dari sekedar kesadaran inderawi kepada kesadaran yang lebih tinggi.
Sebelumnya perlu kita ketahui dulu bahwa perkembangan kesadaran seseorang meningkat dari hanya memahami yang kelihatan (fisik) hingga memahami yang tak kelihatan (non fisik) (Agus Mustofa, Menyelami Samudara Jiwa dan Ruh, 2005). Kesadaran yang paling rendah adalah kesadaran inderawi. Selanjutnya yang lebih tinggi adalah kesadaran rasional, lalu kesadaran spiritual, dan paling tinggi adalah kesadaran tauhid.
Kesadaran inderawi. Kesadaran inderawi adalah kesadaran yang sifatnya dipicu oleh panca indera. Melalui kesadaran ini maka kita bisa melihat matahari terbit dari sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat. Kesimpulan yang diambil dari kesadaran inderawi ini terbatas pada kemampuan indera kita.
Kesadaran rasional. Ternyata setelah indera kita tak mampu lagi menjelaskan, manusia bisa naik ke tingkat kesadaran berikutnya yaitu kesadaran rasional. Kesadaran rasional ini menggunakan pikiran untuk menjangkau sesuatu yang tak terjangkau indera. Misalnya, secara inderawi kita hanya mampu melihat bahwa matahari terbit dari timur dan terbenam di barat. Dengan menggunakan akal, dibantu dengan alat-alat yang lebih canggih, manusia kemudian dapat membuat kesimpulan bahwa bumi itu bulat, bumi berotasi ke arah timur, dan bahkan bumi mengelilingi matahari. Manusia dengan bantuan teleskop melihat adanya kejanggalan-kejanggalan alam yang tidak bisa dijelaskan bila matahari mengelilingi bumi. Karena itu dengan kemampuan berpikir rasional manusia dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya bumi berotasi ke timur (dan akibatnya seakan-akan matahari mengelilingi bumi). Dengan melihat kedudukan bintang-bintang sepanjang tahun, para astronom akhirnya berkesimpulan bahwa bumi lah yang mengelilingi matahari. Dengan kemampuan pikiran rasional pula manusia yakin bahwa bumi tidak datar, tapi bulat. Setelah ditemukannya teleskop yang mampu melihat benda langit (planet lain), manusia semakin yakin bahwa bumi itu bulat, bukan datar seperti perkiraan sebelumnya. Kita dapat melihat bahwa dengan kemampuan rasional manusia dapat mengambil kesimpulan jauh di luar apa yang dapat sicapai dengan indera. Ibaratnya kesadaran inderawi menggunakan mata fisik, kesadaran rasional menggunakan mata pikiran. Pada kesadaran rasional inilah muncul pengetahuan ilmiah.
Kesadaran spiritual. Ketika manusia bahkan dengan pikiran rasionalnya tak mampu lagi membuat penjelasan, maka dia akan naik ke tingkat kesadaran spiritual. Kini para ahli telah mengembangkan teori big bang untuk menjelaskan terjadinya alam semesta. Teleskop luar angkasa Hubble telah memeberikan bukti betapa dahsyat dan luasnya alam semesta. Namun kesadaran rasio manusia tak akan mampu menjelaskan ada apa di luar tepi-tepi batas semesta, ada apa sedetik sebelum big bang terjadi, dan apa tujuannya terjadi alam yang luas dengan bumi yang setitik debu di dalamnya ini. Semua kelelahan kesadaran rasional itu membawa manusia ke tingkat kesadaran spiritual, yaitu menyadari adanya sesuatu yang maha dahsyat di balik semua yang tak terjangkau rasio itu. Inilah kesadaran yang mengakui keberadaan Tuhan. Di sinilah muncul pengetahuan nurani atau suara hati.
Kesadaran Tauhid. Namun kesadaran spiritual belum tentu menghasilkan kesimpulan yang benar. Pada jaman purba, manusia menyembah berhala, kekuatan alam seperti gunung dan matahari, atau kekuatan roh seperti jin. Semakin moderen mulailah muncul kepercayaan atas dewa-dewa, yaitu bahwa pada setiap benda/makhluk ada tuhannya masing-masing. Ada tuhan pohon, angin, monyet, tikus, dan sebagainya. Memang untuk level kesadaran spiritual ini manusia membutuhkan petunjuk wahyu, suatu yang di luar akal manusia, bahkan di luar nurani. Kecerdasan spiritual yang berdasarkan hati nurani masih bisa menyesatkan, misalnya pada kebudayaan Aztek manusia dikorbankan kepada dewa matahari melalui keyakinan yang didasarkan suara hati. Pada tingkatan tertentu, suara hati tak lagi mampu. Misalnya, mengapa kita tega menyembelih kambing? Bukankah suara hati kita miris dan menganggapnya kekejaman? Alasan kuat kita yakin bahwa menyembelih kambing itu sesuatu yang benar (walaupun suara hati memprotesnya) adalah karena tuntunan agama wahyu. Wahyu mengatakan bahwa menyembelih kambing atas nama Allah adalah sah, sedangkan memenggalnya (bukan menyembelih) atau mengatasnamakan berhala adalah sesuatu yang haram. Pengetahuan pada level kesadaran Tauhid ini bukan sekedar pengetahuan yang didasarkan pada kesadaran spiritual, namun lebih tinggi lagi karena menjawab persoalan yang terus tak terjawab oleh kesadaran spiritual. Misalnya, apakah tuhan itu banyak? Berapa banyak? Apa sih yang diinginkan tuhan? Mengapa sih manusia diciptakan? Kemana sih kita setelah mati? Semuanya itu dijawab melalui wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul.
Penelitian moderen menunjukkan bahwa konsep ketuhanan jamak (dewa-dewa) atau tuhan yang lebih dari satu mudah sekali dipatahkan dengan bukti-bukti pengetahuan moderen. Pengetahuan kuno menganggap bahwa manusia, binatang, gunung, dan pohon memiliki materi yang berbeda, karena itu punya tuhan masing-masing. Pengetahuan moderen menunjukkan bahwa semua hal itu sebenarnya adalah sama, mempunyai unsur dasar elektron, proton, dan netron. Bahkan elektron, proton, dan netron itupun diduga punya penyusun sama. Saat ini materi penyusun inti atom terkecil yang telah disepakati para ahli adalah suatu pilinan energi yang disebut quark. Jadi apa yang ada di alam semesta ini pada esensi terkecilnya mempunyai kesamaan dan keteraturan yang luar biasa! Alam makrokosmos dimana terdapat matahari, bumi, bulan, dan lainnya mempunyai perilaku persis sama dengan alam mikrokosmos yang terdiri dari elektron, proton, dan netron. Bumi berotasi sambil mengelilingi matahari. Matahari dan semua planet di tata surya kita, secara bersamaan juga bergerak melingkar mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti. Galaksi Bima sakti ini juga bergerak melingkari\ mengelilingi pusat alam semesta. Pada alam mirokosmos pun demikian. Pada bagian tubuh kita yang terkecil yaitu dalam bentuk atom karbon, elektron bergerak mengelilingi inti. Lihatlah betapa ada kesamaan luar biasa dari hukum-hukum alam ini baik dalam alam makro maupun mikro. Lihat pula betapa esensi manusia ternyata sama saja dengan binatang, kayu, bahkan intan, yaitu susunan atom karbon. Dengan bukti ini mustahil semua itu diciptakan oleh banyak dewa. Mustahil ada dewa angin mencipta angin, ada dewa monyet mencipta monyet. Bahkan mustahil ada dua tuhan, karena seluruh alam ini ternyata mempunyai hukum yang teratur dan konsisten. Andai ada dua tuhan saja, pasti terjadi banyak ketidakteraturan! Di sinilah wahyu yang sudah diturunkan sejak ribuan tahun lalu mendapatkan bukti lebih kuat dengan pengetahuan manusia moderen. Bagaimana para nabi bisa tahu tentang dzat yang Maha Tunggal padahal waktu itu tidak dikenal galaksi maupun atom? Itulah pengetahuan dari wahyu. Level yang lebih tinggi daripada pengetahuan dari bisikan suara hati.
Pada level kesadaran Tauhid, seseorang akan takjub menemukan bahwa Tuhan yang maha Tunggal, yaitu Allah swt, hadir dimana-mana dan dengan kuasanya terus menjaga keteraturan itu. Bayangkan kalau Allah tidak menghendaki keteraturan ikatan atom, maka dalam sekejap seluruh alam semesta ini terburai hancur. Tubuh manusia yang tampan, cantik, menarik, yang berjabatan presiden, artis, maupun gelandangan, semuanya dalam sekejap akan terburai menjadi entah apa. Hanya karena kemurahan Allah lah semua di alam bisa berlaku seperti sekarang ini. Pada tingkatan kesadaran ini maka seseorang akan merasakan kehadiran Allah di setiap tarikan nafasnya, kegiatannya, bahkan pikirannya. Semua itu hanya karena Allah swt, dzat yang Maha Tunggal.
Mari kita kembali pada kisah Muhammad kecil si penggembala kambing. Pada usia yang masih muda dia telah mengembangkan kesadarannya hingga tingkat kesadaran spiritual. Semakin dewasa Muhammad semakin mampu mencapai kesadaran tauhid, dengan menyadari bahwa agama hanif (agama peninggalan Ibrahim yang dianut sebagian kecil masyarakat) adalah agama yang benar, bukan agama penyembah berhala yang sedang dominan di masyarakat jahiliyah waktu itu. Puncaknya adalah ketika kegelisahan Muhammad mencapai batas tertinggi yang membuatnya sering uzlah menyepi ke gua hira di malam hari. Pada saat itulah Allah menurunkan wahyu kepadanya dan mengangkatnya menjadi Nabi.

Muhkamat dan Mutasyabbihat

Allah berfirman :
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7)
Jadi, Al-Quran terdiri dari dua macam :
Ayat Muhkam
Yaitu ayat yang hanya mempunyai satu arti menurut aturan bahasa Arab atau lainnya, arti ayat itu jelas diketahui. Misalnya :
Tidak ada yang serupa dengan-Nya (QS Asyura :11)
Dan tidak satupun yang sesuatupun yang menyamai-Nya (Al-Ikhlas :4)
Ayat Mutasyabih
Yaitu ayat-ayat yang dapat memiliki banyak arti menurut bahasa Arab. Penunjukan makna ayat ini membutuhkan pemikiran yang dalam sehingga dapat diterima. Misalnya Surat Thaha : 5
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. 20:5)
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. 35:10)
Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihat, sehingga memiliki banyak arti. Pemilihan maknanya harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan tidak bertentangan dengan ayat muhkam. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan. Beritu juga hadis tidak boleh saling bertentangan. Juga hadis tidak mungkin bertentangan dengan ayat Al-Quran. Ada dua metodologi untuk menerangkan ayat mutasyabihat, keduanya benar :
1. metodologi Salaf
2. metodologi khalaf
Metodologi Salaf
Salaf adalah ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah pemberian penjelasan umum, sehingga ulama salaf ayat ini memiliki arti sesuai dengan kesempurnaan Allah. Daripada mengatakan artinya, mereka merujukkan ayat-ayat mutasyabih ke ayat muhkam. Contoh yang baik adalah
perkataan Imam Syafii :
“Saya percaya dengan apa yang Allah turunkan sesuai makna yang diinginkan-Nya, dan apa yang Rasulullah sampaikan sesuai dengan makna yang dia maksud.”
Dengan perkataan lain, arti yang sesuai tidak berdasarkan makna fisik dan indra yang salah, yang akan membawa kepada misalnya tempat, bentuk, kaki, gerakan, duduk, warna, arah, tersenyum, tertawa atau makna lain yang tidak boleh disifatkan kepada Allah. Lebih lanjut, orang Arab pada ketiga abad itu memiliki bahasa Arab yang alami dan sangat fasih. Mereka memahami bahwa ayat-ayat itu memiliki makna yang layak bagi Allah, dan mustahil bahwa mereka akan memberi makna fisik dan indrawi yang tidak layak bagi Allah.
Meski demikian, telah diketahui bahwa beberapa ulama salaf memberi makna tertentu kepada ayat Mutasyabih. Imam Bukari dalam Shahih-nya, bab Tafsirul Quran, memberi makna tertentu kepada lafal “illa wajhahu” yaitu dalam QS Al-Qashash 88. Dia mengatakan, “illa mulkahu”, yaitu dia mengatakan bahwa “wajh” – yang disifatkan kepada Allah – artinya “mulk” atau “kerajaan/kekuasaan”.
Metodologi Khalaf
Khalaf adalah ulama yang hidup sesudah 3 abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah memberikan makna tertentu kepada ayat mutasyabih. Ulama khalaf yang hidup pada saat di mana orang mulai kehilangan bahasan alami dan kefasihan berbahasa Arab. Melihat bahwa orang Arab kemampuan bahasa alaminya menurun dan mereka takut pada orang yang hatinya condong kepada kesesatan akan membaca ayat mutasyabih dengan arti yang tidak layak bagi Allah, sebagaimana Surat Ali Imran ayat 3 di atas. Untuk menjaga aqidah Islam, ulama khalaf mengikuti contoh di antara ulama salaf yang memberi arti tertentu pada ayat-ayat mutasyabih. Dengan mengacu ayat itu dengan ayat muhkam, mereka memberi arti tertentu kepada ayat mutasyabih yang sesuai dengan kaidah bahasa dan agama. Mereka memberi makna yang benar dan dapat diterima pada ayat mutasyabih.
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7).
Sehubungan dengan ayat ini Ibn Abas : “Saya adalah satu dari orang yang mendalam ilmu agamanya”. Masyhur bahwa Ibn Abbas adalah unggul di antara sahabat dalam menerangkan arti ayat Quran.
Di antara orang yang hatinya condong kepada kesesatan adalah musyabbiha, yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka secara salah mengklaim bahwa dilarang menunjuk pada arti tertentu pada ayat mutasyabih dan khususnya yang berhubungan dengan sifat Allah. Lebih lanjut, mereka membuat aturan yang keliru bahwa penunjukkan makna tertentu pada ayat tersebut yang akan membawa kepada peniadaan sifat-sifat Allah. Klaim mereka ini membawa pada interpretasi ayat Quran saling kontradiksi dan juga interpretasi antar hadis, dan interpretasi hadis dan Quran. Lebih lanjut klaim mereka ini telah menuduh ulama-ulama salaf dan khalaf dengan fitnah bahwa mereka meniadakan sifat-sifay Allah. Ini akan meliputi : Ibn ‘Abbas, Sufyan ath-Thawri, Mujahid, Sa’id Ibn Jubayr, Malik, Ahmad, al-Bukhari, an-Nawawi, Ibn Rajab al-Hanbali, Ibn-ul-Jawzi, Ibn Hajar , al-Bayhaqi, Abu Fadl at-Tamimi, ‘Abdul-Qahir al-Baghdadi, ulama hadis dan ahli bahasa Murtada az-Zabidi, dll. (Ketr. lihat isi artikel berikutnya…)
Dengan klaim mereka ini, mereka bertentangan dengan Rasul. Al-Bukhari menyatakan bahwa Rasul melakukan doa untuk Ibn Abbas. Rasul saw mengatakan :
Ya Allah, ajari dia ilmu hadis dan penjelasan Quran.
Dalam bab Tafsir al-Qur’an, Imam al-Bukhari mengatakan bahwa kata wajhahu dalam Surat al-Qasas, ayah 88, berarti “Kerajaan/kekuasan-Nya.” Tetapi, mushabbihah yang menserupakan Allah dengan makhluk mengatakan, “Kami tidak menginterpretasikan, tetapi memilih makna literal,” sehingga mereka mengatakan wajhahu artinya “muka-Nya.”
Ibn Hajar al-’Asqalani, dalam Al-Fath (Sarah Sahih al-Bukhari), Volume 6, hal 39-40: ” ….. sehubungan dengan perkatakan sifat Allah , ad-dahik (tertawa), artinya “mengasihi,’ dekat dengan makna ‘menerima kebiakan’. Tetapi mushabihah berkeras mengambil makna literal, sehingga mereka mengatakan bahwa Allah tersenyum atau tertawa.
Dalam Surat Al-Qalam 42 :
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (QS. 68:42)
Salaf mengatakan lafal “saq” sebagai “suatu kesulitan”, sehingga makna ayat adalah “hari yang penuh ketakutan dan kesulitan”. Penjelasan ini diberikan oleh Ibn ‘Abbas, Mujahid, Ibrahim an Nakh’i, Qatadah, Sa’id Ibn Jubayr, dan sejumlah ulama. baik Imam al-Fakhr ar-Razi dalam Tafsir Qur’an, Volume 30, hal 94 dan Imam al-Bayhaqi dalam Al-’Asma’ was-Sifat, (hal 245) dan Fath-al-Bari, (Volume;13, hal 428) meriwayatkan penjelasan dari Ibn ‘Abbas. Ibn Qulayb Juga menyatakan dari Sa’id Ibn Jubayr yang mendapat ilmu dari ‘Abdullah Ibn ‘Abbas and Ibn ‘Umar. Tetapi mutashabihah berkeras pada makna literal dan mensifati pada Allah “betis”, dengan mengartikan literal ‘betis’.
Dalam Al-Baqarah 115 : Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:115)
Imam Mujahid, murid Ibn ‘Abbas, mwngatakan bahwa kata wajh artinya ‘qiblat,’ i.e., ara prayers pada waktu sahalat sunah dalam perjalanan atau naik hewan. Tetapi orang mushabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengartikan “muka/wajah”.
Begitu juga, jika ayat 12 At-Tahrim :” Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami”, diambil makna literal artinya Allah meniup sebagian dari Ruh-Nya kepada Isa. Ulama mengatakan artinya : Allah menyuruh Jibril untuk meniup ke dalam Nabi Isa ruh yang dimuliakan Allah. Juga dalam Shad 75, secara literal berarti : Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. …” (QS. 38:75) Para ulama mengatakan arti “yadain” adalah “perhatian/kasih (care)”. Tetapi, orang mushabihah berkeras bahwa arti yadain adalah tangan. Juga An-Nur :35, “ Allah adah Cahaya langit dan bumi…”. Para ulama mengartikan : ‘Allah (Pencipta/Pemberi) petunjuk di langit dan bumi’. Tetapi mushabihah berkeras dengan makna literal, Allah adalah cahaya. Al-Fajr:22 : “Datanglah Tuhanmu..”. Imam Ahmad Ibn Hanbal, mengartikan : Kekuasaan Allah telah datang. Hafiz Imam al-Baiaqi dalam Manaqib Ahmad, menerangkan dari sanad sahih. Juga Ibn al-Jawzi al-Hanbali, ulama Madzhab Hambali, menyatakn bahwa Imam Ahmad menunjuk pada arti tertentu, yang dapat diterima, yang mutasyabihat. Dia juga membuktikan bahwa Imam Ahmad tidak mempercayai tentang “maji-ah” (dari ja-a) dalam ayat itu, bahwa itu adalah pergerakan. Imam Ibn Al-Jauzi, juga : Tidak mungkin Allah bergerak”. Tetapi musyabihah berkeras bahwa “Allah datang” (yi, dari satu tempat ke tempat lain). Hadis dari Bukhari (ttg. Allah nuzul /turun) dijelaskan Imam Malik : Sebagai turunya kasih sayang dan bukan gerakan. Tetapi kaum musyabihah berkeras “nuzul” artinya Allah turun dalam arti gerakan.
Mengutip Imam Asy’ari, Imam Baihaqi, dalam buku Al-Asma wa Sifat hal 488 : “Allah ta’ala tidak di suatu tempat. Gerakan, istirahat dan duduk adalah
sifat-sifat badan”Imam Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan lafaz “istiwa” dalam Surat Taha :5 artinya “al-istila” yang artinya menguasai (subjugating). Ketika al-istila digunakan untuk menjelaskan ayat ini, itu berarti Allah menguasai Arsy dengan penguasaan tanpa awal. Jika ayat ini dijelaskan dengan cara ini, itu artinya Allah disifati dengan menguasai Arsy sebelum Arsy diciptakan, sama seperti Allah disifati sebagai pencipta sebelum sesuatu yang diciptakan ada. Dalam konteks ini, ulama memberi istilah “al-azal”, yang berarti keadaan tanpa permulaan. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah menguasai (istila) ‘arsy dalam al-azal, yang berarti bahwa Allah menguasai ‘arsy dengan penguasaan tanpa permulaan. Tetapi kaum musyabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengatakan istiwa artinya “duduk” di atas Singgasana atau “bertempat secara kuat” di atasnya.
Dalam bukunya Al-Mu’taqad, Imam Baihaqi menyatakan dari sanad al-’Awza’i ,Imam Malik dan Sufyan ath-Thawri serta al-Layth Ibn Sa’d, bahwa ketikamereka ditanya hadis yang mutasyabihat, mereka berkata : ”Terimalah mereka sebagaimana datangnya tanpa menerapkan ‘bagaimana’ padanya”. Hal ini karena jika seseorang bertanya bagaimana, jawabnya adalah “seperti ini atau itu”. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan Allah tidak seperti makhluk. Siapa pun tidak dapat membayangkan, Allah berbeda dari apa pun. Ketika ulama mengatakan :”….tanpa ‘bagaimana’ padanya”, mereka mengartikan bahwa Allah bersih dari sifat-sifat duduk, istirahat, bergerak, berkaki, bertubuh atau anggota tubuh. Mereka tidak mengartikan istiwa di atas singgasana… Sebaliknya, para ulama sepenuhnya meniadakan “bagaimana” pada Allah.
Sehingga pernyataan yang mengatakan “Allah duduk di atas singgasana tetapi kita tidak tahu bagaimana” adalah tertolak berdasar keterangan mereka. Siapa pun dengan suara pikiran tahu bahwa duduk, bagaimanapun caranya, adalah sifat-sifat tubuh. Bertempat membutuhkan “bagaimana” dan ditujukan kepada tubuh. Lebih lanjut, warna dan sentuhan adalah atribut tubuh dan “bagaimana” ditujukan padanya. Semuanya adalah mustahil ditujukan kepada Allah.
Hampir sama, ketika Rasul bertanya kepada budak hitam wanita: “Di mana Allah?”, para ulama mengartikan Beliau menanyakan tetntang kedudukan Allah. Dia menjawab: Fis-sama” yang artinya Allah memiliki kedudukan tertinggi. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal – Rasul menanyakan tempat Allah, dan dia menjawab “Allah di langit”, artinya langit adalah tempat Allah.
Beitu juga hadis : Jika kamu mengasihi yang di bumi, kamu akan dikasihi yang di langit. Artinya Jika kamu mengasihi yang di bumi, malaikat – yang ada di langit, akan membawa kasih Allah kepadamu. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal”… Allah , yang ada di langit, akan mengasihimu”
Dengan menolak pemahaman majazi, mengakibatkan adanya saling kontradiksi antar ayat-ayat Al-Quran atau hadis. Sebagai contoh hadis terkenal “Allah di antara orang dan leher peliharaannya”. Hal ini secara langsung bertentangan dengan hadis “Allah di langit” di atas.
Juga dengan Al-Hadid :4 :”Allah bersama kamu dimana pun kamu berada”. Ulama mengartikan Allah mengetahui di mana pun kamu berada.
Juga Fushilat 54: Allah meliput segala sesuatu. Juga As-Shafat :99: arti literal: “Allah di negeri-negeri syam”, karena ayat ini berhubungan dengan Sayidina Ibrahim yang sedang pindah dari Iraq ke negeri-2 Syam.
Juga Al-Baqarah :125 makna literalnya : “Ka’bah adalah rumah Allah”. Jika Surat An-Nahl 128 diambil literal, artinya menjadi “Allah bersama orang berbuat kebaikan”
Jika semua diambil makna literalnya betapa banyak kontradiksinya. Para ulamamengambil makna yang sesuai dan dapat diterima pada ayat dan hadis yang mutasyabihat berdasar bahasa dan agama, dan dengan merujuk pada ayat muhkam.
Mereka mengartikan :
Allah Maha Mengetahui dimana pun kamu berada (Hadid :4),
Allah mengetahui segala sesuatu (Fusilat:54),
Kabah adalah rumah yang sangat dimuliakan Allah (Al-Baqarah 125).
Surat Al-An’am 61 : merujuk “fauqiah” (aboveness) kekuasaan, sehinggaartinya “Segala sesuatu di bawah kekuasaan Allah”
Surat An-Nahl 128 artinya Allah menolong orang-orang yang berbuat kebaikan.
Taha 5, artinya Allah menguasai Arsh dalam al-azal (tanpa permulaan),seperti seluruh sifat Allah.
Dalam pengambilan makna literal kaum musyabihah, mereka mencoba keluar dari kontradiksi dengan berkamuflase, bahwa Allah memiliki muka tanpa penampakan, dan Allah mempunyai “arah” yaitu atas, tetapi kita tidak tahu bagaimana; dan Allah mempunyai “betis” yang kita tidak tahu bagaimana betisnya. Juga mereka mengatakan Allah “duduk” tetapi kita tidak tahu bagaimana Dia duduk.
Ahli Bahasa dan hadis madzhab Hanafi, Imam Murtada Az-Zabidi, dalam bukunya Ithafus-Sadatil-Muttaqin, menolak orang yang menolak penunjukan manka yang dapat diterima pada ayat mutasyabihat dan berkeras pada makna literal. Dia mengatakan : “Pada dasarnya mereka merendahkan kedudukan Rasul; mereka mengklaim bahwa Rasul tidak tahu sifat-2 Allah yang diturunkan kepadanya; …”
Bagaimanapun Allah mengatakan Surat ash-Shu’ara’, ayah 195, “Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas” Az-Zabidi :”Orang yang mengambil posisi menentang pengambilan makna tertentu yang dapat diterima pada dasarnya adalah menyerupakan Allah dengan makhluk” Menskipun mereka berkilah dengan mengatakan bahwa Dia memiliki “tangan”, yang tidak sama dengan tangan makhluk, dan “betis” yang tidak sama dengan betis makhluk, bertempat/istawa yang tidak kita ketahui. Dia menyebut mereka:”Perkataan Anda bahwa ‘kita mengambil makna literal, yang tidak kita ketahui’ adalah kontradiksi. Jika anda mengambil makna literal, maka ‘as-saq’ dalam Surat al-Qalam, ayah 42, adalah betis, yang itu adalah bagian tubuh yang berupa kulit, daging, tulang dan syaraf. Jika Anda mengambil makna literal, maka anda telah melakukan penghinaan, dan jika anda kemudian menolaknya, bagaimana anda mengklaim melakukan makna literal?”
Penutup
Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati Allah dengan yang tidak layak baginya.
Singkat kata, cara pertama yang benar dalam memahami ayat mutasyabihat dalam Al-Quran adalah mempercayai sesuai yang Allah maksudkan tanpa mengatakan artinya , dan tanpa “bagaimana”, yaitu tanpa mensifati Allah duduk, berdiri, bertempat, bersifat indrawi, atau arti lain dan dikenakan pada manusia/makhluk. Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan, “Allah istiwa yang pantas bagi-Nya – yang bukan duduk, punya yad yang pantas bagi-Nya – yang bukan tangan, dan punya wajh yang pantas bagi-Nya – yang bukan muka”
Cara yang benar kedua adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa. Mengikuti metode ini, kita mengatakan “istiwa artinya ‘Dia menguasai Singgasana’, yad artinya ‘kasih/perhatian’-Nya, wajh artinya ‘Zat Allah’, ‘Kekuasaan’, atau ‘Kiblat’”.
….
Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu yang ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan”
Kita bermohon kepada Allah agar menjaga kita dalam jalan dan keyakinan yang benar yang dimiliki ulama Salaf dan Khalaf. Kita mohon lindungan Allah dari perangkap kesesatan, karena Rasul saw berkata dalam riwayat Tarmizi, “Seorang hamba akan mengucapkan sebuah kata yang dia tidak tahu merugikan, akan menyebabkan dia masuk ke dalam neraka selama 70 musim”. Itu adalah tempat yang hanya dicapai oleh orang kafir.
Sangat berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf, ayah 18, “setiap kata yang diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan Atid” Juga berhati-hatilah dari buku-buku tafsir/terjemahan Quran yang menserupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan cahaya, tangan, betis, wajah, duduk, arah, tempat dan sejenisnya. Allah bebas dari segala kelemahan dan segala sesuatu penyerupaan dengan makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul Alamien, Yang Esa yang bersih dari segala penyerupaan dan segala sifat yang tidak pantas, dan dari segala yang merendahkan yang dikatakan oleh orang yang tidak benar tentang Dia.

Bahaya Fanatisme Madzhab

BAHAYA TAQLID Di antara bahaya taqlid yang bisa disebutkan dalam kajian ini:
1. Menghalangi pelakunya untuk menerima kebenaran.
2. Memperuncing perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat, karena masing-masing pihak mendahulukan pendapat pimpinan atau nenek moyang mereka terhadap ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, yang kita diperintah untuk berpegang dengan keduanya dan mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara hendaknya kalian mengembalikan (jawaban atau penyelesaiannya) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari akhir , karena sesungguhnya yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’ : 59)
3. Sikap taqlid dengan mendahulukan pendapat seseorang daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya, merupakan sebab datangnya adzab dan tersebarnya fitnah, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Berhati-hatilah mereka yang selalu menyelisihi perintahnya (Rasul) akan menimpa kepada mereka fitnah atau adzab yang pedih.” (An Nur:63)
4. Sikap taqlid ini akan mengantarkan pelakunya kepada penyesalan yang tak kunjung usai di hari kiamat, karena para pemimpin atau nenek moyang (pendahulu) yang dipanuti secara taqlid akan berlepas diri dari para pengikut mereka. Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Ketika orang-orang yang diikuti (dengan taqlid) berlepas diri dari para pengikut mereka, dan mereka telah melihat adanya adzab dan ketika itu segala bentuk hubungan antara mereka terputus sama sekali, dan kemudian berkata para pengikut: “Seandainya kami dapat kembali ke (dunia) pasti kami akan berlepas diri dari mereka (para pemimpin yang dipanuti) sebagaimana mereka berlepas diri dari kami…” (Al Baqarah: 66-167)
Dan juga firman Allah yang artinya:
“Dan alangkah dahsyatnya ketika kamu melihat orang-orang dholim dihadapkan kepada Tuhan-nya sebagian mereka melemparkan tuduhan kepada yang lainnya, berkatalah orang-orang yang lemah (dari kalangan para pengikut) kepada orang-orang yang menyombongkan diri (dari kalangan pemimpin): “Kalau bukan karena kalian tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman, maka menjawablah orang-orang yang menyombong-kan diri (para pemimpin): “Apakah kami yang menghalangi kalian dari petunjuk ketika petunjuk tersebut datang kepada kalian? Justru kalian sendirilah orang-orang yang berdosa (dengan meninggalkan petunjuk tersebut), maka orang-orang yang lemah menjawab kepada orang-orang yang menyombong-kan diri: “Justru sebenarnya tipu daya kalianlah (yang secara terus menerus) malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru supaya kami mengingkari Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.” Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tersebut tatkala mereka semua melihat adzab.. .” (As Saba’: 31-34)


Kyai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, Ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai Allah ?, disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur asal dia diciptakan. Allah ? menerangkan tentang kepongahan Iblis tatkala ia protes kepada Allah ?, yang artinya:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf : 12).
Di dalam sebagian kitab Hanafiyah terdapat pertanyaan: Bolehkan wanita Hanafiyah menikah dengan laki-laki Syafi'iyah? Dan jawabnya adalah tidak boleh. Karena Hanifiyah meragukan iman orang-orang Syafi'iyah.

Dan kaum Muslimin di negara-negara di belakang dua sungai telah mengamalkan fatwa ini bertahun-tahun, yang penduduknya tidak membolehkan anak-anak wanita mereka menikah dengan laki-laki Syafi'iyah.

Begitulah keadaannya sampai datang seorang tokoh ulama Hanifiyah yang bergelar Mufti ats-Tsaqalain, yang menyusun tafsir Abu as-Suud, yang dalam menghadapi masalah tadi berfatwa: tentang bolehnya Hanifiyah menikah dengan orang Syafi'iyah, akan tetapi dengan alasan yang aku sendiri tidak bisa mengomentarinya.

(Tafsir) Abu as-Su'ud telah membolehkan pernikahan laki-laki Hanifiyah dengan wanita Syafi'iyah dengan menempatkan kedudukan wanita itu pada kedudukan ahli kitab dengan qiyas perlakuan terhadap wanita Yahudi atau Nashrani.

Maka sangat mengherankan, jika ia (Abu as-Su'ud) membolehkan ini, akan tetapi dia tidak membolehkan sebaliknya... dan sungguh ini telah terjadi di negara-negara kaum Muslimin dan terus terjadi sampai hari ini.

Aku (Syaikh Al-Albani) mendengarnya sendiri dari seorang laki-laki awam yang bermazhab Hanafiyah yang terpesona kepada seorang kahatib masjid Bani Umayyah di Damaskus Syam, sehingga ia berkata, "Seandainya khatib itu tidak bermazhab Syafi'i, sungguh aku akan menikahkankannya dengan putriku."

Aku harapkan janganlah seorang dari orang-orang yang lalai, tergesa-gesa menuduhku telah berbuat jahat dan mengatakan: "Sesungguhnya perselisihan-perselisihan ini telah berakhir dan telah lewat masanya."

Maka kepada orang ini dan yang semisalnya, aku sebutkan contoh di atas (yang aku mengetahuinya sendiri) sebagai dalil terus berlansungnya perselisihan-perselisihan tersebut.

Ini adalah pada tingkatan bangsa Arab, maka apabila engkau berpindah kepada kaum Muslimin non-Arab, pasti engkau dapatkan perselisihan yang lebih pahit dan lebih keras daripada perselisihan-perselisihan yang mengherankan ini.

Kedua.
Perselisihan dalam furu' tidak akan berbahaya. Adapun ucapan mereka bahwa perselisihan dalam furu' tidak akan berbahaya, maka aku katakan: "Di dalam perselisihan ushul bahayanya jelas, sebagiannya telah lewat, berdasarkan ini maka sesungguhnya bahaya itu juga pindah pula pada (perselisihan) furu'; dan cukuplah sebagai tanda bahaya bahwa perselisihan ini menyebabkan berpecah-belahnya ummat dan porak-porandanya seperti telah aku jelaskan.

Pertanyaannya sekarang adalah: Bagaimana penyelesaiannya?

Penyelesaiannya ada pada penutup hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang telah aku kemukakan, yaitu "sampai kalian kembali ke agama kalian." Yang artinya terkandung pada kembali secara benar kepada Islam. Islam dengan pemahaman yang benar yang telah dijalani oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para shabahat beliau.

Untuk membatasi jawaban masalah tersebut, aku ulangi: "Haruslah kita memulai dengan tashfiyah dan tarbiyah, dan sesungguhnya harakah (pergerakan) apa saja yang tidak berdiri di atas fondasi ini sama sekali tidak ada faedahnya."

Dan untuk membuktikan kebenaran pendapat kita di dalam manhaj ini, kita kembali kepada Kitab Allah al-Karim, di dalamnya terdapat satu ayat yang menunjukkan bahwa permulaan itu haruslah dilakukan dengan tashfiyah kemudian tarbiyah yang membuktikan kesalahan setiap orang yang tidak setuju dengan kita.

Allah berfirman:

" Artinya : Jika kalian menolong Allah, niscaya Dia akan menolong kalian." [Muhammad 7]

Inilah ayatnya, Dia berfirman: Jika kalian menolong Allah, niscaya Dia akan menolong kalian."

Inilah ayat yang dimaksud; dan ahli tafsir telah sepakat bahwa arti menolong Allah adalah "mengamalkan hukum-hukumNya." Dan termasuk pula: "Iman kepada yang ghaib." Yang telah dijadikan oleh Allah sebagai syarat pertama bagi mu'minin.

"Artinya : Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib dan menegakkan shalat." [Al-Baqarah: 3]

Maka bila pertolongan Allah tidak terwujud, kecuali dengan menegakkan hukum-hukumNya, lantas bagaimana mungkin kita memasuki jihad secara amalan? Sedangkan kita belum menolong Allah sesuai (makna) yang telah
disepakati ahli tafsir.

Bagaimana kita memasuki jihad sedangkan aqidah kita rusak, hancur? Bagaimana kita akan berjihad, sedangkan akhlaq rusak? Kalau begitu haruslah meluruskan aqidah dan mendidik jiwa sebelum memulai jihad.

Dan aku mengetahui bahwa perkara ini tidak akan selamat dari penentangan terhadap manhaj kita: tashfiyah dan tarbiyah.

Tentang ini ada orang berkata: "Sesungguhnya melaksanakan tashfiyah dan tarbiyah adalah satu urusan yang membutuhkan waktu panjang bertahun-tahun."

Akan tetapi aku katakan, "Hal ini (waktu panjang) tidaklah penting, namun yang penting adalah kita menjalankan apa yang diperintahkan oleh agama kita, oleh Rabb kita yang Maha Agung."

Yang penting kita mulai pertama kali dengan mengenal agama kita dan setelah itu tidak peduli apakah jalannya panjang atau pendek.

Sesungguhnya aku tujukan ucapanku ini kepada para aktifis da'wah kaum Muslimin, para ulama dan para pembimbing. Aku seru mereka, hendaklah berada di atas ilmu yang sempurna tentang Islam yang shahih dan hendaklah mereka memerangi setiap kelalaian atau pura-pura lupa dan memerangi setiap perselisihan dan pertengkaran.

"Artinya : Maka janganlah kalian saling bertengkar yang menyebabkan kalian jadi gentar dan hilang kekuatan kalian." [Al-Anfal: 46]

Dan setelah kita menyelesaikan pertengkaran dan kelalaian ini dan kita tempatkan kebangkitan, persatuan dan kesepatan pada posisinya, maka kita mengarah untuk mewujudkan kekuatan materi (fisik):

"Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kalian mampu berupa kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian." [Al-Anfal : 60]

Mewujudkan kekuatan materi adalah perkara yang pasti, karena memang harus membangun industri, pabrik senjata dan lainnya. Akan tetapi sebelum segala sesuatu itu dilakukan, haruslah kembali secara benar kepada agama sebagaimana yang dijalani oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau di dalam aqidah, ibadah, tingkah laku dan seluruh apa yang berkaitan dengan perkara-perkara syari'ah.

Dan hampir-hampir engkau tidak akan mendapati seorang pun di kalangan kaum Muslimin yang menjalankan ini, kecuali Salafiyun.

Mereka adalah orang-orang yang meletakkan titik di atas huruf-huruf, dan mereka sajalah yang menolong Allah dengan apa yang Dia perintahkan yang berupa tashfiyah dan tarbiyah yang akan mewujudkan manusia Muslim yang benar. Mereka sajalah wujud firqah an-Najiyah (golongan yang selamat) dari neraka dari 73 firqah yang ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ditanya tentangnya, beliau bersabda, "Semuanya di dalam neraka."

Oleh karena inilah aku ulangi lagi, "Tidak ada jalan keselamatan, kecuali al-Kitab dan as-Sunnah serta tashfiyah dan tarbiyah di dalam menuju al-Kitab dan as-Sunnah. Dan ini mendorong upaya pemahaman terhadap ilmu hadits dan pemisahan yang shahih dari yang dhaif, supaya kita tidak membangun hukum yang keliru seperti yang dijalani kaum Muslimin pada banyak kesalahan-kesalahan hukum dengan berpegang pada hadits-hadits yang lemah.

Di antaranya (sekedar contoh), apa yang terjadi pada sebagian negara-negara Islam tatkala mempraktekkan Undang-Undang Islam -sebagaimana mereka namakan-, akan tetapi tidak berlandaskan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Maka terjatuhlah ke dalam kesalahan-kesalahan perundang-undangan dan yang berkaitan dengan hukuman.

Misalnya, bahwa hukuman seorang Muslim tatkala membunuh kafir dzimmi (yang bernaung di bawah bendera Islam ini) apabila dilakukan secara sengaja adalah balas dibunuh. Dan diyat (tebusan) orang dzimmi yang terbunuh secara keliru adalah sama dengan diyat Muslim. Padahal ini bertentangan dengan apa yang berlaku di zaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Maka bagaimana setelah ini (semua), memungkinkan kita menegakkan daulah padahal kita berada di dalam kesalahan-kesalahan serampangan ini. Ini terjadi pada lapangan ilmu, maka apabila kita berpindah ke masalah pendidikan, kita dapati kesalahan-kesalahan yang mematikan, akhlaq kaum Muslimin di dalam pendidikan hancur binasa. Maka haruslah dijalankan tashfiyah dan tarbiyah dan kembali secara benar kepada Islam.

Dan pada kedudukan ini, sangat menakjubkan ucapan salah seorang da'i Islam bukan dari Salafiyun (akan tetapi kawan-kawanya tidak mengamalkan ucapan ini) yang berkata, "Tegakkan daulah Islam di dalam hati kalian, niscaya daulah Islam akan berdiri di bumi kalian."

Sesungguhnya kebanyakan da'i Muslimin keliru ketika mereka lalai dari prinsip ini dan ketika mereka berkata, "Sesungguhnya sekarang bukanlah waktunya tashfiyah dan tarbiyah, akan tetapi sekarang hanyalah waktu untuk bersatu."

Padahal bagaimana mungkin bersatu, sedangkan perselisihan terjadi dalam ushul dan furu'. Sesungguhnya perselisihan ini adalah kelemahan dan kemunduran yang laten pada kaum Muslimin.

Dan obatnya adalah satu, teringkas dari apa yang telah dijelaskan, yaitu kembali dengan benar kepada Islam yang shahih atau mulai mempraktekkan manhaj kita dalam tashfiyah dan tarbiyah, dan mudah-mudahan ini telah cukup.